Pengaruh Dunia Sampaumur Pada Permainan Anak-Anak
Permainan bawah umur zaman dulu kadang mempunyai tenaga penyerap yang berpengaruh terhadap banyak sekali insiden yang terjadi di luar dunia kanak-kanak itu sendiri, yaitu peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia orang dewasa. Di tempat berbahasa Jawa misalnya, ada permainan yang mengungkapkan susah payah seorang janda bau tanah yang mempunyai banyak anak dan ingin menitipkan anak-anaknya tersebut sebagai abdi pada orang lain yang mempunyai kekayaan dan kekuasaan. Tetapi orang kaya itu sangat pelit, sehingga menderitalah bawah umur tersebut alasannya yaitu diperlakukan dengan sewenang-wenang.
Bentuk permainan ini sendiri dimainkan dengan cara dinyanyikan dan tarian sederhana sehingga ibarat sendranyanyi kecil. Seorang anak wanita yang dianggap tertua berperan sebagai si janda. Ia berada di tengah dan dengan asisten dan kiri menggandeng bawah umur lain yang saling bergandeng pula membentuk deret panjang: itulah bawah umur si janda. Di seberang formasi tersebut, agak jauh, duduk seorang anak yang berperan sebagai orang yang mempunyai kekayaan dan kekuasaan. Sambil bergerak maju mundur berulang kali, formasi bawah umur itu menyanyikan sebuah syair, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai berikut:
Soyang, soyang
Lukislah hati pelangi
Hai upik dari Semarang
Ya, ya, bu.. Ya, ya, pak..
Putraku adipati
Salamku padamu, saya tiba ke sini.
Selesai syair itu dinyanyikan, formasi bawah umur yang melangkah maju dan mundur itu pun berhenti dan lalu berjongkok di muka anak yang berperan sebagai orang tempat mengabdikan diri tadi. Si janda berhadapan muka dengan orang itu, sehabis terlebih dahulu menirukan suara ketukan pintu:
- Tok, tok, tok…
Ketukan pintu itu disambut dengan sapaan :
+ Siapa itu?
Dan dijawab oleh si janda dengan:
- Saya
Kemudian diantara keduanya pun terjadi obrolan berturut-turut sebagai berikut:
+ Ya, siapa?
- Saya, mak janda dari Dadapan
+ Mau apa?
- Saya mau menitipkan anak saya sebagai abdi di sini
+ Anak yang mana?
- Yang ini.
+ Baik kuterima, asal ia mau kuberi nasi sekepal, sambal secalit, kuah setetes, dan minumnya pun seteguk. Tidurnya mesti di luar rumah berbantalkan kentongan.
Mendengar klarifikasi itu mak janda mengurungkan niatnya. Bersama anak-anaknya yang berada dalam formasi itu ia pun bangun berdiri dan melangkah mundur, lalu melaksanakan lagi gerakan maju mundur berulang-ulang sambil menyanyikan bait berikutnya yang dapat diterjemahkan sebagai berikut:
Sungguh tak rela
Sungguh tak rela
Anakku kamu perlakukan semena-mena
Tetapi kemiskinan yang merundungnya memaksa mak janda untuk mau tak mau menyerahkan anaknya, betapa pun duka hatinya. Demikianlah, sementara ia bersama anak-anaknya dalam formasi bergerak maju mundur, dinyanyikanlah bait-bait selanjutnya:
Lantang tangisnya semasa bayi
Lantang tangisnya semasa bayi
Sekarang anakku hendak mengabdi
Kunyit dan cekur, hu
Kunyit dan cekur, hu
Anakku jadi babu
Akhirnya formasi yang bergerak maju mundur sambil menyanyikan bait-bait itu berhenti dan jongkok di muka anak yang berperan sebagai orang tempat mengabdikan diri tersebut. Sesudah mak janda menirukan kembali suara ketukan pintu, terjadi obrolan yang mengakhiri permainan gelombang pertama permainan itu:
+ Ya, siapa?
- Saya, mak janda dari Dadapan
+ O ya, jadi bagaimana dengan anak itu?
- Baiklah, kini kuserahkan dia
Gelombang kedua dan gelombang-gelombang selanjutnya permainan itu kembali lagi ibarat semula dengan penyerahan anak kedua, ketiga, dan seterusnya sampai habislah semua anak mak janda dalam formasi tersebut dan tinggalah ia seorang diri saja lagi.
Demikianlah, permainan ini sebetulnya mengungkapkan insiden sosial yang menyangkut penderitaan janda bau tanah yang miskin dan banyak anak, satu diantara banyak insiden serupa yang terjadi di kalangan rakyat tempat permainan ini berasal.