Membaca Kaba Puteri Bunga Karang Lewat Puisi
Rusli Marzuki Saria (kelahiran Kamang, Bukittinggi, 26 Pebruari 1936), termasuk salah seorang penyair Indonesia yang menulis puisi bertolak dari nilai-nilai sub-kultur daerahnya. Lewat puisi, Rusli berusaha mengucapkan dirinya sebagai warga sub-kultur Minangkabau, di mana “kaba” merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang populer di daerahnya. Beberapa puisi Rusli menyampaikan efek yang berpengaruh kepada kaba Minangkabau itu. Ia telah melahirkan puisi yang berolak dari kisah kaba itu sendiri.
Puisi berjudul “Puteri Bunga Karang”, misalnya, menyampaikan perjuangan Rusli untuk mengungkapkan (kembali) permasalahan yang terdapat di dalam kaba “Bunga Karang”. Dalam hal ini, kritikus Mursal Esten (1981) mengatakan, “Puisi Rusli berjudul “Puteri Bunga Karang” itu memang lebih baik dari puisi-puisinya yang lain, alasannya ialah permasalahan yang ada dalam kaba “Bunga Karang” dihayatinya dengan baik, sebagai warga dari sub-kultur Minangkabau. Dia mencicipi di dalamnya. Di dalam permasalahan yang diungkapkan puisi itu.” -Dasril Ahmad, dalam “Puteri Bunga Karang” Rusli Marzuki Saria: Puisi yang Bertolak dari Akar Tradisi-
Nah, untuk lebih jelasnya, ini ia puisi Rusli Marzuki Saria yang berjudul Puteri Bunga Karang;
Puteri Bunga Karang
1
Awan merendah. Angin berpusar-pusar
Puteri Bunga Melur keluar dari muara Muar
Sebuah lancing kecil
Kisah ini dirawikan lewat kaba
Kuserahkan diriku pada gelombang dan pasang
Laut bernyanyi. Camar melayang-layang
Antara batang Muar dan pulau Pagai
Dimana engkau kekasihku: Nahkoda Muda
Bandar Muar. Kapal-kapal bersandar
Alangkah ramainya
Puteri Bunga Melur hilang dalam kelambu
Inang dan dayang-dayang istana
Berlari ke ruang tepi. Yang tinggal hanya
Enam puadai kencana
2
Malam turun di istana bandar Muar
Anak raja Bugis itu duduk sendiri. Bagai
burung kehilangan pasangannya
Desah laut, kilat cahaya
Puteri Bunga Melur yang rait
di balik kabut malam bandar Muar
Tercoreng aib anak raja Bugis
sang puteri menghilang tanpa berita
Sumpah telah mendera buat bersetia
Janji mengikuti kekasih masing-masing
dan meninggalkan negeri ini
Apakah yang lebih sakti daripada sumpah:
karam ke dasar laut
daripada mengalah kepada nasib?
3
“Dari Tiku ke Kuraitaji
Anak payang membeli limas
Biarlah saya mungkir janji
Karena loyang gantinya emas…”
Puteri Bunga Melur juga yang terisak
Tentang janji, sumpah dan setia
Sebab ikrar itu sudah terucapkan
“…biar bahu-membahu membuang diri ke maritim lepas”
Bandar Muar seharian penuh sesak
Perahu, pencalang, sekunar, jukung dan tongkang
Lancang dan sampan bagai ikan badar terlantar
“Mengapa saya abang katakan edan?”
Barangkali nasib tersirat diam-diam
Dari kesunyian masing-masing
4
Gelombang menari-nari di sini
menjilat pengecap pasir
Di lisan muara
batang Muar
Pasang naik, matahari pun naik
Puteri Bunga Melur ingat kekasih
Nahkoda Muda-Sutan Kinali
Tunangan tak resmi mekar dalam hati
Jodoh dalam batin
dibawa retak tangan
Teguh dalam janji
sangsai dalam penderitaan
5
Puteri Bunga Melur yang sendiri
dalam lancang
Ditelan lautan
di hari-hari pelarian
Nahkoda Muda terlintas-lintas di mata
bergayut di pucuk buih
Di maritim pagai
dan arus amat kencangnya
Telah kutulis nasibku
di atas daun sirih
Dengan kapur gunung sebatang
dari hari pertama
Begitu sunyinya nasib
dalam igau
Purnama marak
bersembunyi di balik kabut
6
Kuminta angin berembus
dan angin ribut reda
Lancang kecil
di atas samudera
Kuminta bintang-bintang
menuntun lancangku
Di malam begini hitam
petir menghantam
Nahkoda-
Nahkodaku
Kekasihku
Tunanganku
Lihatlah maritim pasang
Dengarlah gelombang mengerang
Di mana engkau nahkodaku
Kucari kamu ke sini - di pulau Pagai!
7
Puteri Tunggal nan Jombang sang ibunda
Terisak-tersedu
Karena sang puteri lari
tinggalkan calon suaminya
Puteri Tunggal nan Jombang
tak sanggup dirawikan
Kemarahannya
dan malunya
Didamiknya dadanya
dibantun-bantunnya
rambut di kepala
dengan sangat garangnya
Lengkisau hari-harinya
tiba berpusaran
Api di telapak tangan
karam dengan erat
8
Bulan tersipu di atas laut
Ketika ombak berderai
Dan angin tenang
Tanpa pasang
Nyanyian masalampau
rabuk masadepan
bersatu di sini
di atas karang
Puteri Bungsu bercinta
dengan laut
Ketika ombak Purus
bernyanyi dan mengeluh
Kau jabat tangan waktu
dengan ragi kasihsayang
Tuak kelapa Pagai
memabukan ku!
9
Telah kamu lepas rindu
Puteri Bungsu-
Di balik purnama
mengintai bencana
Di atas peraduan tak ditemukan engkau
Yang tinggal jejak di pasir
Dan wangian sedapmalam
Kembang angsoka
Kau pilih lari malam hari
Bersinar bintang kala
Laut mengeram malam hari
Kau serahkan dirimu pada gelombang
Sebelum angin ribut tiba
Malam gelap gulita
10
Awan bergumpal hitam di atas lautan
Elang maritim berkepak. Nasib juga sedang
menunggu Puteri Bungsu
Ketika sumpah itu diucapkan
Puteri Tunggal nan Jombang menyeru:
“Anak kualat, anak celaka….!
Anak yang tak tahu membalas guna…
Memberi aib kepada orang banyak”
“Atas kesusahanku mengandung dan
melahirkannya ke dunia,
ya Allah, kalau ia ada di daratan
diterkam dan diserkah harimau laparlah ia,
kalau masuk kuala, ke sungai atau ke lautan
tertumbuk dan terlepaslah lancang
yang dinaikinya ke watu karang…”
Sumpah itu sudah terucapkan
ketika pitam
Sang Bunda Alam
11
Gagak terbang di senja. Kita bercerita
ihwal maritim mengamuk
Dan kisah cinta yang remuk
Antara Pagai dan bandar Muar
Terlintas sebuah rumah buat haritua
Ketika kamu dulu mengimpikannya
Bunga ros yang mekar serta lila
Dalam taman berdua
Tapi nasib tetap juga dalam suratan
tangan. Tergenggam dekat di tanganmu
Dan terbengkalai
Di balik animo usia telah jadi
kulit limau berkerinyut. Menanti
lapuk di kemarau panjang
12
Jaringlawa terbentang di siang
Menungu mangsa yang letih di perburuan
yang panjang. Langit biru, awan menyisih
Ringkik kuda ditelan cakrawala
Telah bermusim dukaku di sini
bertahta. Kabut melintas batas
Dan bunyi itu melolong di malam
panjang sekali
Kusulam asib yang bengis
dalam sunyi sendiri
Kau ajuk lautku biru
di hari-hari kelabu
Buyung! Disini sajalah main dadu
di bawah pohon randu
Silang-sengketa nasib
dalam perjalanan rahib
13
Gelombang memanggil aku
Badai sedang menanti aku
Gelap malam hitam
Menunggu aku!
Kuserahkan jiwa kepadamu
Laut biru dalam
Bersetubuh denganmu
Dalam kelam
Kuingat kecupan yang panas
Badai panas matahari khatulistiwa
Lidah ular berbisa
Airmu menari-nari
Anginmu berpusar-pusar
Awanmu merendah
14
Kutulis riwayatmu
Kueja namamu
Dari hari ke hari
Dari ketika ke saat
Kubaca deritamu
lewat gelombang
Kubaca sukacitamu
lewat garistangan
Puteri Bungsu
puteri terakhir
yang lahir
Puteri Bungsu
maritim sedang bergelombang
maritim bakal pasang
15
Beri saya maritim yang menggelegak
dan angin panas melambai
Kubakar diriku di dalamnya
sepuas-puasnya
Beri saya maritim yang mendidih
dan angin ribut khatulistiwa
Benamkan saya ke dasar paling dalam
hingga ke keraknya
Dengan seluruh badan terbakar
Aku ingin jabat tanganmu
dalam ngigau
Kau itu Ibu Kehidupan
ibu alam pemurah
ibu alam pemarah
16
Haritua bagai rumah di pantai
Bunga-bunga melenggok dan patah rantingnya
Tak ada derik dan angin mati
seketika
Masadepan kayu-kayu hutan berbunga
Burung2 menyanyi. Matahari terbangun
pagi hari. Sipongang berkejaran sepanjang
lembah
Puteri Terakhir sedang berpacu dengan kabut
di luas laut. Menuju Pagai
Menuju sang kekasih
Bagai harimau maritim mengaum
Angin berpusar sepanjang malam dan siang
Pagai jauh kekasih jauh
17
Kutolak angin ribut menggila tapi sia-sia
Lancangku kandas, air maritim berputar-putar
dibawahnya. Wajah Nahkoda Muda
Sekali-sekali datang. amboi, gagahnya!
Tidak. Tidak, saya ingin berkubur di sini!
Di perut maritim mengeram, Pagai terlihat
Jauh sekali. Ibu Alam yang pemarah
Aku ingin mencium kakimu
Tidak. Tidak, saya ingin hingga padanya
Tanah tepi di mana Nahkoda Muda
membuang sauh. Dan kapal-kapal tertambat
Tidak. Tidak, Puteri nan Bungsu
Laut tak sanggup kamu suruh diam
Sebentar lagi matahari akan tenggelam
18
Senja pekat bagai pukat hitam
Gerimis rait, petir bersabung ke malam
Gelombang tak tertahan oleh empu jari
Lancang Puteri nan Bungsu itu pecah!
Nasib. Retak tangan dan Ibu Alam yang marah
Badai menghempas. Gelombang membelah
Kusandang nasib hitamku sebelum menjelang
Pagai. Laut berderai, amboi!
Aku ingin berumah di sini. Rumah kaca
di mana saya sanggup ngintip mambang
dan peri. Atau wajah Nahkoda Muda
Aku ingin berumah di sini. Di mana laut
bernyanyi malam hari. Memanggil-manggil
kekasih nun jauh sekali.
19
Jangan lagi kamu kejar, petir malam hari
Lancangku pecah. Dan saya di sini saja di tengah
gerimis. Pendayung patah tiga
Dan urat2ku mulai kaku
Jangan lagi saya kamu kejar, petir malam hari
Nanti saya jadi batuhitam, digerayangi
lumut-lumut plankton. Di mana gelombang
pecah di pangkuanku
Aku kini gadis cukup umur yang sedang
bercinta. Bernyanyi malam hari kupetik
kecapi. Dawai2nya, ah dawai2nya!
Aku kini gadis cukup umur yang sedang
mimpi. Berumah di tengah samudera
Mengintip dalam rumah beling : di mana engkau kekasihku
20
Ibu Alam yang pemarah - langit jadi
hitam. Jerat telah memangsaku untuk
berumah di sini, dalam palung maritim ini
Dan kuminta hanya angin ribut serta maritim gemuruh
Ibu Alam yang pemarah - saya anakmu,
Puteri Bunga Melur - Puteri nan Bungsu
Puteri Terakhir
yang kamu lahirkan
Akulah puterimu yang bercinta! Memendam
Rindu dan kasihsayang. Lari dari rumah
dengan lancang. Ketika pertunanganku
dengan anak raja Bugis itu berlangsung
Kuminta badai, angin, gelombang
memecah ke dadaku
Di tengah samudera antara Pagai-Padang
- Akulah Puteri Bunga Karang!
Ulakkarang,
Padang 1977/1978