Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Carok; Tradisi Para Ksatria Madura


Di pulau kecil Madura yang konon merupakan sempalan dari pulau Jawa ini terdapat sebuah tradisi untuk mempertahankan harga diri berbau kekerasan bagi seorang laki-laki yang di sebut carok. Hingga sekarang di pulau Madura yang hanya terdiri dari empat kabupaten (bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep) dan berpenduduk hanya sekitar tiga jutaan dan mempunyai senjata tradisional berupa clurit ini tradisi carok masih tetap dipertahankan sebagai jalan terakhir untuk mempertahankan harga diri.

Ajang laga carok sendiri biasanya dipicu oleh persoalan wanita yakni bila diganggunya istri dan kehormatan keluarganya, alasannya yakni bagi lelaki Madura istri merupakan symbol dari kehormatan bagi dirinya. Kaprikornus bila lalu sang istri diganggu atau berselingkuh dengan laki-laki lain maka itu sama artinya dengan melecehkan dan menginjak-injak keberadaannya sebagai lelaki. Dan bila sudah begitu tak ada jalan lain yang sanggup ditempuh selain mengajaknya berduel satu lawan satu dalam carok.

Dengan alasan untuk membela kehormatan itulah, maka orang yang melaksanakan carok, dianggap bagai pahlawan oleh keluarga dan lingkungan sekitarnya, meski pada kesannya mereka harus mati di tangan lawannya. Dan untuk orang yang mengalahkan lawannya dikala carok, dan lolos dari kematian, selain dianggap pahlawan oleh keluarganya pun dianggap sebagai oreng andal atau jagoan. Orang menyerupai inilah, yang lalu akan menerima julukan sebagai oreng blater.

Dan bila julukan sebagai oreng blater telah disandang maka orang tersebut pun sanggup mendaftar menjadi anggota remo yakni sebuah perkumpulan yang menyerupai arisan khusus untuk para pendekar carok. Tradisi remo atau kumpul-kumpul para oreng blater ini biasanya akan dilaksanakan oleh salah satu anggota dari remo untuk mengumpulkan dana mendesak. Dengan banyak sekali macam hiburan tradisional menyerupai ludruk dan sandur, sebagaimana arisan pada umumnya para oreng blater yang telah diundang harus menyerahkan sejumlah uang kepada orang yang telah mengadakan remo tersebut. Besarnya dana yang terkumpul biasanya tergantung dari seberapa mashyur orang yang menagadakan remo. Semakin tinggi ketokohan yang bersangkutan semakin banyak pula uang yang sanggup dikumpulkan.

Uang yang didapat dari remo, menjadi hak penuh sang tuan rumah. Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, uang hasil remo tak jarang dipakai untuk membiayai carok yang dilakukan oleh kerabat atau keluarganya.Status ketokohan seseorang di Madura, masih terasa belum lengkap jikalau sang tokoh belum menjadi anggota remo. Dalam remo pun, ketokohan itu masih harus dibuktikan lagi. Aantara lain dari besarnya uang yang diserahkan kepada si tuan rumah. Semakin besar tip yang dibagi untuk para penari yang menghibur dalam remo, dan makin banyak minuman yang ditenggak, juga menciptakan ketokohan orang itu kian menjulang.

Tapi, sebagaimana arisan pada umumnya, uang yang diberikan ini tentu saja bukan uang cuma-cuma. Sebab, pemberian atau mowang, yang diberikan seseorang, niscaya akan terus ditagih meski orang itu telah menyatakan diri berhenti dari keanggotaan remo. Di sisi lain, dengan remo pula, sebuah keluarga sanggup menuntaskan akhir yang ditinggalkan alasannya yakni carok. Misalnya, nabang (baca: nabêng) untuk memudahkan urusan dengan polisi, atau untuk membantu keluarga korban carok.