Yudhistira Di Tepi Danau
Oleh Goenawan Mohamad
Pada tahun ke-13 masa pembuangan, di suatu hari yang terik di hutan pekat itu, empat dari lima bersaudara Pandhawa mati satu demi satu.
Beberapa jam sebelumnya, Yudhistira, sang sulung, meminta adik-adiknya pergi menemukan sumber air. Ia kehausan, demikian juga yang lain. Seorang demi seorang pun berangkat, tapi tak ada yang kembali.
Cemas dan bertanya-tanya dalam hati, Yudhistira pun pergi menyusul, mencari, mengusut jejak. Akhirnya, sekian puluh pal jauhnya dari kawasan ia menunggu, di tepi sebuah telaga yang jernih, ia melihat badan dua saudara kandungnya seibu, Bhima dan Arjuna tergeletak. Tak bernyawa. Lebih ke utara terdapat mayit Nakula. Lalu ia temukan juga mayat Sadhewa. Kedua cowok di ujung pandai balig cukup akal itu adiknya yang lain: putra Pandhu dari Ibu Madrim.
Yudhistira terhenyak. Keempat saudaranya mati tanpa bekas pertempuran. Apa gerangan yang telah terjadi? Meminum air beracun? Siapa yang menyebar racun: penghuni rimba yang tak kelihatan, atau intel Raja Duryudana dan para Kurawa?
Di tengah pikiran yang gelap dan galau itu, Yudhistira mendengar sebuah bunyi berat yang tak tampak sumbernya.
“Dengar, Yudhistira”, bunyi itu berkata. “Keempat ksatria ini, keempat adikmu, satu demi satu mati lantaran melanggar larangan: mereka telah diberitahu untuk tak meminum air telaga itu. tapi mereka – dengan penuh kepercayaan diri, bahkan besar kepala – melawan pantangan itu.”
Siapakah yang bicara? Yaksa yang tak berwujud? Hantu penghuni air yang mengenalnya?
“Katakan saja: saya sukma air telaga ini. Aku tahu keempat adikmu kehausan, saya tahu engkau kehausan, tapi kamu sebaiknya tak melaksanakan hal yang mereka lakukan”.
“Izinkan saya minum”, Yudhistira mencoba menyahut.
“Akan saya izinkan. Tapi kamu harus menjawab lebih dulu beberapa pertanyaan sebelum ia boleh mereguk air ini”.
Saat itu saya bayangkan Yudhistira, di balik airmukanya yang tenang, gentar. Ia melihat siang mendadak mirip cuilan mimpi buruk. Tiba-tiba saja sebuah perjalanan, sebuah proses, semenjak hari mereka berlima masuk hutan lantaran dibuang, terpotong. Hanya sembilan hari lagi masa pembuangan 13 tahun itu akan berakhir. Tahta Kerajaan Indraprasta akan dikembalikan kepada keluarga Pandawa. Tapi sekarang apa yang akan terjadi? Hanya dia, Yudhistira, yang tinggal.
Harapan dan perhitungan usang tak berlaku lagi. Jika nanti para Kurawa menolak dan memperdayakannya lagi, bagaimana ia akan melawan mereka? Akan terjadikah perang besar yang semenjak 13 tahun lamanya diramalkan itu? Tapi bagaimana dengan dirinya, sebelum perang disiapkan? Bisakah ia lepas dari nasib jelek di tepi danau itu?
Di ketika itu ia bisa memilih: ia membiarkan dirinya mati mirip keempat Pandawa lain, atau ia bersedia menjawab pertanyaan Sang Suara Gaib. Tapi ia tak tahu apa yang akan terjadi jikalau jawabannya salah: akankah ia mati juga? Ataukah ia akan dibiarkan hidup tapi tetap tak bisa meminum air danau?
Dalam Mahabharata dikisahkan, Yudhistira balasannya memutuskan untuk bersedia menjawab pertanyaan yang akan menghadangnya. Dengan itu ia bergotong-royong bagaikan meloncat ke jurang yang gelap di depan.
Syahdan, dalam cuilan karya besar ini, ada beberapa pertanyaan yang dimajukan. Tapi di sini saya kutip saja yang terakhir, yang paling menentukan.
Kata bunyi gaib: “Salah satu dari adikmu akan segera kuhidupkan kembali. Siapa yang kamu kehendaki, Yudhistira?”
Yudhistira terdiam. Ia pejamkan matanya, dan pilihan-pilihan yang sulit bertabrakan dalam gelap. Akhirnya sahutnya lirih: “Nakula”.
“Nakula?”, bunyi itu heran. “Bukan Bhima, saudara kandungmu yang kamu sayangi, yang kekuatannya setara dengan puluhan gajah? Bukan Arjuna, sang pemanah piawai?”
“Bukan”, jawab Yudhistira, kata-katanya semakin mantap. “Sebab yang melindungi insan bukan senjata, bukan kekuatan. Pelindung utama yakni dharma. Nakula saya pilih lantaran aku, yang selamat dan hidup, yakni putra Kunthi. Sudah sepatutnya putra Madrim juga harus ada yang hidup mirip diriku. Itu adil.”
Kata “adil” itu mirip bergetar di seluruh permukaan danau. Mendengar itu, Sang Suara Gaib seolah-olah membisu, dan tak usang kemudian, muncullah Batara Yama di depan Yudhistira. Dewa Maut itu dengan mesra memeluknya. Kahyangan terpesona akan kata-kata putra sulung Pandhu yang barusan diutarakan. Anugerah pun diturunkan. Keempat mayit bersaudara itu – tak hanya Nakula — dihidupkan kembali.
Yudhistira: 13 tahun yang kemudian ia seorang penjudi yang gagal. Tapi kapan perjudian berakhir? Tadi juga ketika ia memutuskan untuk bersedia menjawab Sang Suara Gaib, ia merasa dirinya menyerupai sebuah dadu yang terlontar dan tak bisa menentukan bagaimana ia akan jatuh. Tiap lemparan yakni legalisasi bahwa hidup yakni kecamuk kebetulan-kebetulan. Tak terang alasannya. Tak terang arahnya. Absurd.
Juga di tepi telaga itu. Yudhistira bergotong-royong tak tahu, muka mana dari dadu yang akan muncul dan apa yang menyebabkannya. Kupilih Nakula, tapi saya tak tahu apa yang akan terjadi nanti dengan sisa hidupku di hutan ini. Aku tak tahu, saya gentar, tapi ada sesuatu yang serta merta memperkuatku: perasaan telah menentukan laris yang adil.
Di ketika itu ia jadi seorang insan yang mendekati Zarathustra dalam puisi Nietzsche: seorang yang berseru kepada langit, lantaran langit yakni meja para yang kuasa kawasan dadu kahyangan dilontarkan. Baginya hidup menyerupai angkasa yang murni: terlepas dari jaring-jaring logika yang mematoknya dengan “tujuan”, dengan “arah”, logika yang menambatnya ke dalam kekerabatan kausalitas. Di angkasa yang telanjang murni, yang bergerak yakni ketidak-pastian. Yudhistira mendapatkan itu. Dalam pengertian Deleuze, yang membaca Zarahustra dengan baik, sang sulung Pandawa justru bukan “pemain dadu yang buruk”. Pemain dadu yang jelek masuk gelanggang dengan bersenjata teori probablilitas. Yudhistira tidak.
Saya kira itulah sebabnya, 13 tahun yang lalu, ia terima tantangan para Kurawa untuk bermain dadu, dengan sikap tawakal yang membingungkan. Ia mau menghadapi lawan judi yang tangguh dan curang, Sengkuni.
Ada memang yang mengatakan, Yudhistira melaksanakan semua itu lantaran ia menyukai perjudian, tapi bergotong-royong Mahabharata tak begitu terang di sini. Yang kita ketahui, Yudhistira tiba ke meja pertaruhan yang fatal itu – yang kelak jadi benih perang besar keluarga Bharata.
Ia tak berhitung dengan kalkulasi kemungkinan. Tak ada taktik mendapatkan tampilan dadu yang pas dengan yang ditebaknya. Ia cuma memandang ke langit-langit gelap, merasa tiap lontaran tak pernah sama, biarpun berkali-kali. Tiap kali dadu jatuh itu yakni kebetulan yang pasti tak sanggup diperhitungkan. Teori probabilitas terlampau menyederhanakannya.
Yudhistira berani, tapi bukannya tak ada duduk masalah di sini. Kesediannya menghilangkan diri sebagai subyek, dan mengalah kepada Nasib, ternyata tak membuatnya bisa menyentuh dunia di luar dirinya. Maka lakunya jadi cuilan dari kekejian: ia jadikan hartanya, kerajaannya, adik-adiknya, bahkan dirinya, dan balasannya isterinya, jadi barang taruhan. Semuanya jatuh ke tangan lawan.
Memang ia tampil dengan askesis yang kukuh: sanggup mendapatkan absurditas hidup seraya menghilangkan diri sebagai subyek yang menguasai hal ihwal. Tapi dalam tawakal itu ia tak tergerak oleh liyan, tak terpanggil untuk memikirkan sesama yang lain.
13 tahun kemudian ia berubah. Dari adegan di tepi telaga itu tampak, hari itu Yudhistira bukan lagi pelontar dadu yang lembek di depan Sengkuni. Nasib dan Kelak tak sanggup dikuasainya, tapi ia tak pasif. Ia bukan seonggok otomaton. Ia menentukan dengan sepenuh hati: Nakula. Ia korbankan cintanya kepada Bhima dan harapannya kepada Arjuna.
Artinya, ia hadir dalam subyektifitas yang kuat. Tapi ketika itu dharma-nya bukanlah aktualisasi “aku yang teguh”, melainkan kesetiaan kepada sesuatu yang tadi tersebut dalam kata, “Itu adil” — sesuatu yang mengakibatkan dirinya kukuh di momen yang menentukan itu, sesuatu yang menciptakan rasa hidup yang tak terhingga, dan dengan itu ia ingin dan sanggup memeluk sesama, melalui batas asal-usul. Ada yang asing di insiden itu: ia merasa ada harapan, cinta, dan kesediaan memberi, walau dalam cemas dan ketidak-lengkapan.
Sejak itu, dalam Mahabharata Yudhistira yakni ksatria yang ganjil. Ia naik tahta dan menganggap diri pendosa; begitu banyak insan dibunuh biar Kerajaan Indraprasta kembali ke tangan keluarga Pandhu. Baginya, sikap para ksatria, kasta para jagoan perang, mirip tingkah anjing yang memperebutkan sisa makanan. Ia tahu posisi raja dan panggilan dharma selalu akan bertentangan—dharma-caryã ca rãjyam nityam eva virudhyate.
Dengan demikian ia memang tak mematuhi hukum kitab suci wacana manusia, kasta dan perannya. Tapi mirip dikatakannya kepada bunyi mistik di tepi danau itu, (saya kutip dari penceritaan Nyoman S.Pendit), “orang tak menjadi bijaksana hanya dengan mempelajari kitab-kitab suci”.