Makan Patita, Tradisi Makan Bersama Rakyat Maluku
Makan Patita, kata ini niscaya tidak absurd di pendengaran orang Maluku, alasannya ialah pada hari-hari tertentu yang di anggap penting orang Maluku kerap menggelar budaya Makan Patita ini. Esensinya Makan Patita sendiri merupakan sebuah program makan bersama dalam lingkup kekeluargaan yang hangat dengan menyuguhkan banyak sekali kuliner dan kuliner tradisional khas kawasan mereka. Siapa pun yang hadir dalam program Makan Patita itu boleh merasakan segala kuliner yang tersedia di situ dengan sesuka hatinya. Tradisi makan patita hingga ketika ini masih terus dipelihara di kota dan di desa-desa di Provinsi Maluku. Desa Oma yang terletak di Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku juga masih berpengaruh memegang tradisi budaya patita.
Secara garis besar tradisi Makan Patita di Provinsi Maluku digelar dua kali dalam setahun yaitu makan patita negeri yang dilakukan setiap tanggal 2 Januari dan makan patita yang dilaksanakan setiap bulan Desember. Tapi, disamping tradisi rutin tiap yahun itu, di beberapa kawasan di kota Ambon menyerupai di Desa Oma mempunyai satu lagi tradisi makan patita yakni makan patita susila yang di gelar dan dilaksanakan hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Bisa setahun sekali, lima tahun sekali, bahkan sanggup juga hingga 12 tahun sekali. Makan patita susila itu dilaksanakan secara sendiri-sendiri oleh empat ajaran keturunan yang dalam bahasa susila Maluku disebut soa, yaitu Soa Pari, Soa Latuei, Soa Tuni dan Soa Raja. Masing-masing soa memilih sendiri waktu pelaksanaan makan patita adat, dan penentuan waktu biasanya terjadi ketika program berbalas pantun di meja patita adat.
Setiap soa yang ada di Desa Oma merupakan kumpulan marga. Soa Pari merupakan kumpulan marga Kaihatu, Sekewael dan Ririasa. Soa Latuei merupakan kumpulan marga Uneputty, Patiata, Tohatta, Lesirollo dan Manusiwa. Soa Tuni merupakan kumpulan marga Haumahu, Hukom dan Wattimena, sedangkan Soa Raja terdiri dari marga Pattinama, Suripatty dan Patty. Ada juga dua marga dari Desa Oma yaitu Pattikawa dan Hetharia yang tidak mengikatkan diri ke dalam empat soa tersebut, namun mereka juga melaksanakan kebiasaan menyerupai empat soa yang lain.
Tradisi Makan Patita Adat di Desa Oma sendiri terbagi menjadi dua yaitu makan patita Marei yaitu yaitu om-om memberi makan bawah umur dalam Soa Latuei yang dikenal dengan nama Marei. Om-om yang dimaksudkan ialah orang tua. Dan yang kedua ialah kebalikan dari itu yakni bawah umur yang memberi makan kepada orang tua. Jadi, pada makan patita susila Marei ini seluruh kuliner hingga pelaksanaan acaranya ditanggung oleh para orang tua. Nanti suatu ketika bawah umur juga boleh menggelar makan patita susila serupa untuk menjamu orang renta mereka. Tidak tanggung-tanggung, mereka menggelar makan patita susila di atas meja yang panjangnya mencapai 200 meter dan dipenuhi ribuan anak susila Soa Latuei. Makan patita susila ini merupakan yang terbesar dalam sejarah susila di Desa Oma.
Sebelum hingga ke puncak pelaksanaan makan patita adat, ada prosesi susila yang dilakukan oleh warga Soa Latuei di Baileo Kotayasa. Malam sebelumnya telah dilakukan serangkaian program persiapan yang merupakan kewajiban dari lima orang yang ditunjuk sebagai Kepala Soa yang dinamakan Bapak Lima-Lima. Dalam prosesi itu, mereka menciptakan pergumulan dan doa yang menjadi sebuah persiapan. Semuanya berlangsung di dalam Baileo Kotayasa. Dalam prosesi persiapan tersebut ada simbol-simbol yang disertakan menyerupai tempat sirih sebagai simbol pengikat kekerabatan kekeluargaan dan sebotol minuman keras sopi sebagai simbol pembangkit semangat.
Setelah prosesi malam itu, keesokan harinya seluruh anak susila Soa Latuei semenjak pagi sudah mulai melaksanakan persiapan. Di tiap rumah warga Soa Latuei terlihat kesibukan memasak. Di sentra desa pun telah digelar meja sepanjang 200 meter dan ditutupi kain putih yang melambangkan kesucian. Kendati sempat diguyur hujan namun hal itu tidak menyurutkan semangat bawah umur Soa Latuei untuk menyiapkan makan patita adat.
Tepat pukul 15.00 WIT para orang renta dari Soa Latuei yang mengenakan busana khas kebaya merah berkumpul di dalam Baileo. Sejumlah anak muda berpakaian hitam-hitam dan ikat kepala merah menyuguhkan tarian cakalele. Sambil menghunus bendo dan salawaku mereka berteriak penuh semangat menyerupai akan ke medan perang. Usai menari, para orang renta kemudian pergi menuju ke mata rumah renta bawah umur Marei yakni mata rumah Huapea dengan iringan tifa untuk meminta bawah umur Marei tiba ke lokasi makan patita adat. Iring-iringan warga Soa Latuei yang diiiringi tifa serta teriakan para penari cakalele juga menarik perhatian warga Desa Oma yang bukan berasal dari Soa Latuei.
Di mata rumah Huapea, sehabis menjemput bawah umur Marei maka para orang renta pun kembali tolong-menolong ke Baileo Kotayasa guna melaksanakan doa bersama, kemudian berjalan secara teratur menuju meja makan yang terletak di sentra Desa Oma. Semua anak susila Soa Latuei mulai dari orang renta hingga balita pun mengenakan busana susila soa Latuei. Di atas meja Makan telah tersedia banyak sekali macam kuliner yang diadaptasi dengan kebiasaan turunan Soa Latuei yang rata-rata berprofesi sebagai pemburu.
Di kepala meja terdapat lima kepala babi yang kemudian dibagikan kepada lima marga anggota Soa Latuei. Makanan yang dihidangkan di antaranya nasi kuning dan nasi kelapa yang diatur rapih pada setiap piring. Ada lauk pauknya menyerupai daging, ikan dan sayur. Terdapat pula kue-kue khas Desa Oma. Akhirnya melaksanakan doa bersama, para Marei pun mulai merasakan kuliner yang diberikan om-om mereka. Setelah final makan bersama maka artinya selesailah rangkaian susila makan Patita ini.