Upacara Nadar Masyarakat Sumenep Madura
Pada zaman dahulu tersebutlah seorang ulama besar asal Cirebon yang berjulukan Syekh Angga Suto tiba ke Sumenep, Madura dalam rangka membuatkan agama Islam. Pada dikala pertama kali menginjakkan kaki di madura atau tepatnya di pantai di Desa Pinggir, Papas, Syekh Angga Suto atau yang lalu dikenal oleh masyarakat Sumenep sebagai Embah Anggasuto mendapati sebuah telapak kaki yang sangat besar di pinggir pantai yang sedang surut dengan gumpalan garam didalamnya. Dari penemuannya yang tak disengaja itulah lalu Embah Anggasuto memutuskan untuk mengajarkan cara menciptakan garam kepada masyarakat Sumenep sebagai daya tarik kepada masyarakat Sumenep yang berkenan masuk agama Islam. Pada akibatnya kebiasaan menciptakan garam ini terus dilaksanakan hingga sekarang. Masyarakat Sumenep menjadi populer sebagai penghasil garam.
Dari insiden inilah lalu upacara nadar atau nyadar di kalangan masyarakat Sumenep lalu rutin dilaksanakan sebagai ungkapan syukur sekaligus mengenang jasa Embah Anggasuto yang telah mengajarinya cara menciptakan garam. Upacara nadar dilaksanakan hingga tiga kali dalam setahun. Upacara nadar pertama dilakukan sekitar bulan Juni. Pada dikala itu diperkirakan sudah saatnya melepas air renta , yaitu air yang kadar garamnya tinggi sebagai materi utama untuk menciptakan garam. Pada bulan Juni ini petani garam sudah mulai memanen garamnya. Setelah panen garam dilakukan dua hingga tiga kali hingga pada bulan Juli, upacara nadar kedua mulai dilaksanakan yang jatuh pada bulan Agustus. Pada bulan ini panen garam masih berlangsung. Ketika panen garam sudah mulai berakhir, yaitu pada bulan September, upacara ketiga mulai dilaksanakan. Pada bulan ini ekspresi dominan kemarau sudah mulai berakhir sehingga masyarakat Pinggir Papas mulai menyambut ekspresi dominan hujan dan berkemas-kemas untuk mengganti lahan garam menjadi lahan tambak.
Mengenai daerah pelaksanaan upcara nadar ini sendiri terbagi atas dua daerah yakni untuk upacara nadar yang pertama dan kedua, titik sentra upacara berlangsung di makam Embah Anggasuto dan yang ketiga yaitu dilaksanakan di rumah bekas kediaman Embah Anggasuto itu sendiri. Di rumah inilah semua barang pusaka desa berupa tombak, keris, dan sebagainya yang hanya digunakan ketika upacara nadar berlangsung itu disimpan.
Lantas ibarat apakah prosesi dari upacara nadar itu sendiri. Pertama-tama sebelum upacara nadar berlangsung pada hari sebelumnya para sesepuh desa akan berkumpul untuk membicarakan segala sesuatu yang bekerjasama dengan upacara nadar, terutama mempersiapkan benda-benda pusaka yang akan digunakan pada dikala upacara nadar. Benda-benda pusaka ini dikeluarkan hanya ketika perayaan upacara nadar. Sebelum digunakan benda-benda tersebut dibersihkan dan dibuatkan sesajen. Bahkan, beberapa sesepuh melaksanakan puasa biar upacara berjalan dengan lancar. Benda-benda pusaka itu antara lain berupa tombak dan keris. Beberapa hari sebelum pelaksanaan upacara nadar disiapkan pula piring keramik besar yang disebut panjang. Piring ini digunakan sebagai wadah makanan.
Bahan-bahan yang digunakan dalam rangkaian upacara nadar itu sendiri terdapat dua perbedaan antara prosesi upacara nadar yang pertama dan kedua lalu yang ketiga. Untuk upacara nadar yang pertama dan kedua bahan-bahan yang digunakan biasanya yaitu bunga dan bedak serta kemenyan ditambah nasi dan lauk ayam, telur, serta bandeng. Pada nadar ketiga benda-benda dan alat-alat upacara lebih kompleks lagi. Ada yang disebut panjang, yaitu piring keramik absurd yang dipergunakan sebagai wadah kuliner yang harus diletakkan di atas panjang, yaitu nasi, telur, dan bandeng. Piring keramik yang disebut panjang merupakan piring yang diwariskan secara turun-temurun. Piring ini dianggap sakral oleh setiap anggota keluarga dan tabu dikeluarkan dari daerah penyimpanannya, kecuali untuk upacara nadar. Mereka percaya bahwa anggota keluarga yang berani mengeluarkan panjang atau menjualnya akan menerima celaka.
Benda upacara lain yang tidak kalah pentingnya yaitu naskah-naskah kuno. Naskah-naskah ini mereka katakan sebagai naskah sakral yang usianya sudah ratusan tahun. Naskah kuno ini pun hanya dikeluarkan satu tahun sekali, yaitu pada dikala upacara pembacaan naskah dalam upacara nadar ketiga. Pembacaan naskah secara rutin dilakukan di bekas kediaman leluhur mereka. Naskah-naskah tersebut yaitu naskah sampurna sembah dan naskah jatiswara. Pada dikala upacara, hanya bagian-bagian tertentu saja yang dibacakan, yaitu yang isinya berupa ajaran-ajaran Islam sehingga sanggup dijadikan panutan dalam hidup sehari-hari.
Benda-benda lain yang digunakan yaitu tombak dan keris. Benda ini merupakan komplemen sarana upacara dan hanya dikeluarkan pada dikala upacara nadar ketiga. Menurut mereka, benda-benda ini memiliki kekuatan mistik dan harus diperlakukan secara hati-hati. Keris dan tombak merupakan senjata yang mereka peroleh dari leluhur. Mereka hormat terhadap benda-benda tersebut, sehingga hanya sesepuh yang disebut rama yang boleh membawa dan mengeluarkan benda-benda ini dari daerah penyimpanan. Benda-benda ini juga disimpan di rumah bekas kediaman leluhur. Selain keris dan tombak, benda lain yang digunakan yaitu bokor, pakinangan, dan kendi sebagai daerah air suci.
Pada upacara nadar ketiga, seorang dukun (pembaca doa) mengenakan pakaian khusus yang hanya dikenakan setahun sekali. Pakaian khusus ini disebut racuk sewu. Wujud pakaian yaitu berlengan pendek dan divariasi dengan tembelan beberapa warna merah, coklat dan bintik-bintik merah, hitam, dan krem. Baju ini dilengkapi dengan blangkon atau tutup kepala dan sarung. Racuk sewu disimpan di rumah bekas kediaman leluhur dan hanya dikeluarkan pada dikala upacara nadar. Setelah upacara selesai pakaian racuk sewu tersebut disimpan kembali.
Upacara nadar pertama
Setelah semua bahan-bahan komplemen upacara disiapkan maka rangkaian upacara nadar pun dimulai. Secara singkat untuk upacara nadar yang pertama dan kedua sanggup digambarkan sebagai berikut: upacara ini biasanya akan dilaksanakan pada sore hari sekitar pukul empat sore dan semua elemen masyarakat berduyun-duyun menuju makam di mana leluhur mereka dikuburkan dengan membawa semua alat dan materi upacara. Sesampainya di makam leluhur tersebut maka para pemuka sopan santun utama pun yang berjumlah sekitar 40 orang dengan mengenakan pakaian sopan santun berupa jubah hitam menyimbolkan keheningan atau kesedihan, melaksanakan upacara tabur bunga di makam leluhur tersebut. Setelah program tabur bunga selesai lalu prosesi selanjutnya yaitu pembacaan doa yang dipimpin oleh pemuka sopan santun utama yang biasanya berpakaian jubah putih yang melambangkan kesucian. Setelah pembacaan yang dilakukan oleh pemuka sopan santun utama ini selesai barulah lalu semua warga dipersilahkan untuk ikut menabur bunga dan membaca doa di makam leluhur mereka itu.
Sampai di sini upacara nadar belumlah selesai. Upacara nadar akan disambung kembali keesokan harinya dan pada malam itu semua akseptor upacara diwajibkan untuk menginap di sekitar makam baik dengan mendirikan tenda-tenda maupun menginap di rumah warga yang berada di sekitar makam. Pada malam harinya mereka yang pada malam sebelumnya menginap di sekitar area makam memasak aneka macam jenis kuliner yang dibutuhkan untuk upacara selamatan esok harinya. Makanan yang dimasak untuk keperluan upacara itu biasanya yaitu nasi, lauk ayam, telur, dan bandeng. Setelah selesai upacara, sisa kuliner dibawa pulang dan dibagikan kepada tetangga yang tidak bisa atau tidak hadir dikala upacara.
Upacara nadar kedua
Upacara nadar kedua yang biasanya jatuh pada sekitar bulan Agustus pada prinsipnya sama saja dengan prosesi yang dilakukan ketika upacara nadar pertama, pun begitu dengan prosesi dan materi yang digunakan dikala upacara. Yang membedakan keduanya hanyalah pada bulan pelaksanaan dan momennya saja yakni untuk nadar pertama dilaksanakan ketika menjelang panen garam dan yang kedua dilaksanakan ketika panen garam masih berlangsung. Selebihnya sama saja dengan nadar yang pertama.
Upacara nadar yang ketiga
Upacara nadar ketiga dilaksanakan sekitar bulan September. Upacara dilaksanakan di bekas kediaman Syekh Angga Suto. Alasan dilaksanakan di daerah tersebut yaitu sebagai upacara sekaran di bekas kediaman leluhur. Upacara ini dimulai dengan pembacaan doa oleh ketua sopan santun dan diamini oleh akseptor upacara. Setelah itu, dilanjutkan pembacaan naskah Jati Swara dan Sampurna Sembah. Kedua naskah tersebut dituliskan di atas daun lontar yang terus dipelihara hingga dikala ini.
Keesokan harinya dilakukan upacara selamatan yang disebut upacara rasulan. Pada kesempatan ini para akseptor upacara membawa kuliner yang diletakkan di atas piring keramik (panjang). Pada kuliner dibacakan doa lalu dimakan gotong royong di daerah upacara. Pada umumnya akseptor upacara hanya memakan sedikit dan sisanya dibawa pulang. Makanan yang tersisa dibagikan kepada para tetangga yang tidak bisa dan anggota keluarga yang tidak hadir pada dikala upacara. Tujuannya biar menerima berkah dari upacara tersebut. Instrumen pada upacara nadar ketiga, yaitu nasi, telur, dan bandeng. Semua itu diletakkan di atas panjang (piring keramik asing). Simbol dari nasi, telur, dan bandeng sama dengan upacara nadar pertama dan kedua. Piring keramik ini sebagai simbol daerah menyimpan rezeki. Piring keramik (panjang) dikeluarkan pada upacara ketiga alasannya yaitu sebagai simbol menyimpan rezeki dan dibutuhkan hasil panen terakhir bisa ditabung, sedangkan pada panen pertama dan kedua hasilnya digunakan untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Naskah-naskah kuno yang dibacakan yaitu naskah Sampurna Sembah dan Jatiswara dan hanya bagian-bagian tertentu saja yang dibacakan, yaitu yang isinya berupa ajaran-ajaran Islam sehingga sanggup dijadikan panutan dalam hidup sehari-hari. Tombak dan keris, benda-benda ini, memiliki kekuatan mistik dan harus diperlakukan secara hati-hati. Keris dan tombak merupakan senjata yang mereka peroleh dari leluhurnya. Keris dan tombak sebagai simbol kekuatan supaya terhindar dari gangguan para lelembut.
Dalam upacara nadar ketiga, pembaca doa mengenakan pakaian khusus yang disebut racuk sewu. Wujudnya berlengan pendek dan divariasi dengan tembelan beberapa warna merah, coklat, dan bintik-bintik merah, hitam, dan krem. Pakaian ini menunjukkan bahwa orang Madura bahagia dengan warna-warna. Warna-warna tersebut memiliki simbol tersendiri. Warna merah sebagai simbol matahari yang menunjukkan adanya kehidupan. Warna coklat sebagai simbol tanah yang kita pijak. Warna hitam sebagai simbol ekspresi dominan penghujan. Secara logika warna hitam merupakan warna yang gelap sesuai dengan dikala cuaca mendung. Warna krem sebagai simbol ekspresi dominan kemarau. Secara logika warna krem merupakan warna yang terang, dalam hal ini sama dengan keadaan alam pada dikala ekspresi dominan kemarau. Bintik-bintik merah sebagai simbol ekspresi dominan pancaroba yaitu pergantian ekspresi dominan hujan dan kemarau. Secara logika warna bintik-bintik merah yang didasari warna hitam menunjukkan bahwa warna matahari merah dan warna langit mendung hitam.
Demikianlah, citra singkat dari ketiga prosesi upacara nadar di masyarakat Sumenep Madura tersebut. Semoga bermanfaat untuk pengetahuan akan budaya dan kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat di wilayah Indonesia.