Penggunaan Dan Kepemilikan Tanah Berdasarkan Budaya Dan Aturan Susila Suku Byak
Seperti halnya tempat yang masyarakatnya masih memegang tabiat istiadat dan aturan-aturan berkenaan dengan tata hidup masyarakatnya, maka di Papua pun atau tepatnya di Suku Biak - Numfor (selanjutnya akan disebut sebagai suku Byak saja), Papua pun mempunyai hal yang sama. Dan pada artikel saya kali ini akan menyoroti wacana aturan-aturan tabiat yang berkenaan dengan kekuasaan, kepemilikan dan pemakaian atas tanah dan territorial di wilayah hidup suku Byak ini berdasarkan apa yang mereka yakini. Aturan-aturan tabiat ini sendiri mencakup juga hubungan-hubungan manusia; insan dengan alam sekitarnya bahkan korelasi insan dengan alam mistik selaku individu bersangkutan yang tak sanggup dilepaskan dengan hal-hal tersebut di atas.
Pemilikan atas kekuasaan tanah ini mencakup juga segala hal ihwal yang ada di dalam atau masuk ke dalam wilayah tanah tersebut menyerupai pohon-pohon, mata air dan sebagainya. Tapi, sebelum kita melangkah lebih jauh ada baiknya kalau saya terlebih dahulu memetakan dan mengindentifikasi etnik Biak - Numfor ini terlebih dahulu sebagai materi yang diperlukan sanggup menjadi citra wacana siapa dan bagaimana keadaan suku Byak ini. Nama Biak - Numfor yaitu diambil berdasarkan pada tempat dimana mereka berdiam yakni di kepulauan Biak - Numfor. Di kepulauan ini terdapat tiga pulau besar yang masing-masing berjulukan pulau Biak, pulau Supiori, dan pulau Numfor dengan beberapa pulau-pulau kecil lainnya yaitu formasi kepulauan Padaido yang terletak di sebelah timur pulau Biak; pulau Rani dan Insumbabi yang berada di potongan selatan pulau Supiori pulau-pulau Meosbefondi dan Ayau yang juga berada di potongan utara Supiori dan kepulauan Mapia yang terletak di potongan utara pulau Ajau.
Pada tahun 2001 berdasarkan data statistik kependudukan Nasional, orang dari suku Byak yang mendiami pulau ini terdapat 118.810 jiwa dan menyebar di 12 kecamatan (Kota dan Desa) dan 226 kampung. Bahasa yang dipakai oleh suku ini sendiri yaitu bahasa Biak dengan 11 dialek dan 9 dialek diantaranya terdapat di tiga pulau besar tersebut. Sebelum kedatangan orang kulit putih yang kemudian berdiam di pulau ini baik sebagai Pastor, Peagang, Ilmuwan dan sebagainya mata pencaharian suku ini yaitu berdagang keliling baik antar kampung, antar suku maupun antar pulau. Kedatangan orang dari luar suku ini mengakibatkan asimilasi budaya yang tak terelakan. Sisi positif dari adanya kontak budaya dengan dunia luar ini yaitu makin kayanya budaya dan tabiat istiadat suku Byak. Secara tradisional suku byak membagi daerahnya menjadi beberapa kampung atau dalam bahasa mereka “mnu” yaitu suatu pemukiman di mana terdapat beberapa “keret” (bahasa Biak) atau “cr” (istilah bagi orang Numfor) yang bersifat patrilineal dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut Mananwir.
Dalam aneka macam tahapan daur hidup suku Biak di tandai dengan upacara tabiat (Wor) yang sanggup mengikat hubungan-hubungan sosial secara umum, maupun khusus dalam korelasi lantaran perkawinan tetapi juga korelasi tanah. Perkawinan ditandai dengan derma benda-benda maskawin. (ararem).
Adat-Istiadat wacana Hutan dan Tanah
Masyarakat Suku Byak yaitu orang-orang yang masuk dalam kategori suku yang mempunyai pengetahuan di atas rata-rata mengenai hutan, tanah dan bahari beserta segala isinya. Ketiga wilayah ini dikategorikan menjadi dua sub elemen yang dibagi berdasarkan status dan penggunaannya. Penggunaan di sini mencakup juga wacana bagaimana pembagian itu mengacu pada acara hidup mereka sehari-hari; wilayah, tempat mencari nafkah, dan tempat-tempat yang dianggap sakral, tetapi juga yang masuk dalam konvensi tabiat yang dilindungi.
Klasifikasi tanah dalam kehidupan suku Biak sendiri dibagi menjadi 3 potongan berdasarkan fungsi-fungsi dari tanah tersebut yaitu; pertama, hutan orisinil atau hutan primer yang dalam bahasa suku Byak disebut sebagai Karmgu. Hutan jenis karmgu ini mempunyai jenis flora yang sangat spesifik sesuai dengan topografi tanah, dan dalam hukum tabiat yang berlaku, karmgu merupakan wilayah yang tak boleh di sentuh baik untuk berburu, berladang ataupun ditebang untuk dipakai oleh anggota/ warga kampung. Karmgu ini di jaga dan menjadi milik Keret ataupun Mnu.
Yang kedua yaitu jenis tanah yang memang dikhususkan untuk berladang atau berkebun yang disebut Yaf. Tempat ini merupakan hutan yang dibuka untuk jenis kegiatan bercocok tanam dan berburu. Setelah tanah ini digarap dalam kurun waktu tertentu dan mulai tak subur lagi maka tanah ini pun akan ditinggalkan untuk waktu sekitar 2 hingga tiga tahun untuk kemudian ditanami kembali. Tanah yang tak lagi ditanami ini disebut Yaf-das atau Yapur.
Dan yang ketiga yaitu padang luas yang disebut Mamiai. Adakalanya mamiai merupakan bekas-bekas ladang yang ditinggalkan dan tak lagi ditanami. Tapi adakalanya juga padang ini akan ditanami kembali hingga beberapa kali panen. Padang yang sama sekali tak lagi ditanami selamanya lantaran dinilai tanahnya tak lagi subur dan dibiarkan menjadi hutan semak kembali disebut marires. Kata marires sanggup mempunyai dua makna, yang pertama menyerupai yang diuraikan di atas. Makna lain yaitu padang belukar yang sangat luas, tidak subur, tidak mempunyai pohon-pohon pelindung tidak pernah ditanami oleh insan sama sekali. Di samping itu kata lain yang dipakai secara umum dalam bahasa Biak untuk memberi nama kepada sebidang areal milik setiap Keret yang sanggup diolah sebagai sumber mata pencaharian yaitu Saprop (tanah). Tanah tersebut sanggup diolah oleh setiap keret yang ada. dahulu hingga kini kebun-kebun diberi pagar oleh pemiliknya untuk mencegah tanamannya dirusak oleh babi hutan. Tidak ada batasan bagi pendatang (bukan penduduk pemilik kampung) yang tidak mempunyai tanah untuk menggunakannya.
Biasanya ada ijin dari pemilik tanah tersebut untuk menggunakannya baik itu tanah jenis marires atau saprop mnu maupun keret. Jika terjadi pelanggaran, contohnya seseorang menggarap dan menanami tanah tersebut tanpa seijin dan sepengetahuan pemilik tanah maka ada kompensasi pembayaran denda atau “Wabiak”. Dahulu, tempat perang antar keret terjadi hingga ada pertumpahan darah maupun pembunuhan. Karena tersebab itu maka tanah yang pernah menjadi sengketa dan mengakibatkan peperangan antar warga merupakan tanah yang dikutuk dan dihentikan berdasarkan tabiat untuk tidak lagi boleh dipakai dari generasi ke generasi.
Aturan Adat wacana Hak Kepemilikan dan Penggunaan Tanah
Pemilikan maupun penggunaan tanah berdasarkan aturan-aturan suku Byak dilakukan berdasarkan atau mengikuti status sosial dalam kampung atau mnu. Orang inilah yang lantaran merupakan penduduk orisinil sekaligus orang yang pertama kali berdiam di mnu tersebut maka ia mempunyai hak atas segala tanah di mnu tersebut. Ia jugalah yang mempunyai otoritas tertinggi yang boleh menawarkan atau mencarikan tempat tinggal dan tempat bercocok tanam untuk orang-orang gres yang tiba belakangan. Orang ini disebut Mansren Mnu. Karena wewenang dan otoritasnya yang hampir tanpa batas di mnu tersebut tak heran bila kemudian Mansren Mnu ini begitu disegani dan mempunyai status sosial yang begitu tinggi, diakui dan disegani di suatu wilayah atau teritorial yang bekerjasama dengan pemukiman dan pemilikan.
Bukti konkret dari otoritas sang Mansren Mnu ini sanggup diamati dari pembagian tempat tinggal yang terdapat di suatu mnu pada suku Byak ini yaitu yang pertama sebagai tempat pemukiman keluarga batih. Pemukiman ini yang terluas dengan kontur tanah yang paling manis lantaran keluarga batih merupakan kerabat dari Mansren Mnu itu sendiri. Kemudian barulah menyusul yang kedua, yaitu tempat pemukiman komplotan keret-keret atau klan-klan dan barulah yang terakhir wilayah yang dihuni oleh adonan suku dengan komplotan kampung.
Meskipun adanya pembagian-pembagian dan pembagian terstruktur mengenai di atas mengenai hak tinggal dan mengolah tanah, tapi kebersaman mereka tetap terjaga lantaran faktor genealogis dalam tabiat suku Biak begitu kuat. Adanya korelasi genealogis yang sangat besar lengan berkuasa inilah yang menjadi semacam perekat kebersatuan mereka sebagai sesama pewaris suku Byak. Jadi, meski adakalanya pemukiman mereka berjauhan satu sama lain tidak menjadi halangan bagi mereka untuk hadir dalam acara sosial-budaya, contohnya upacara; maupun hadir untuk mengambil potongan dalam menuntaskan sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama.
Tidak hanya soal pembagian tanah tinggal dan berladang, hukum tabiat suku Byak ini juga mencakup orang per orang selaku individu, termasuk juga wanita di dalamnya. Kaum wanita dalam hukum Suku Byak yang telah menikah tidak diperkenankan mempunyai tanah atau harta keret suaminya, dan hanya sebatas mempunyai hak atas pemakaian tanah yang diberikan padanya untuk diolah demi kesejahteraan diri dan anak-anaknya. Mengacu pada pembagian status tanah dan hutan dalam pengetahuan Suku Byak maka sanggup dilihat melalui hak pemilikan dan penggunaannya menyerupai yang saya sebutkan di atas.