Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mitos Gempa Dari Kepulauan Nias

Seperti halnya di tatar Sunda yang mempunyai tradisi verbal mengenai mitos gempa bumi di Kepulauan Nias pun punya mitos tersendiri wacana musibah ini. Menurut keyakinan penduduk di Kepulauan Nias gempa bumi diakibatkan oleh kemarahan dari dewa-dewa yang menguasai dunia bawah tanah. Kemurkaan yang pada jadinya menciptakan bumi berguncang ini konon dikarenakan penduduk setempat banyak yang melanggar hukum dan norma-norma.

Tradisi verbal yang berbentuk hoho atau syair ini menceritakan wacana seorang putra Sirao yang tugasnya menopang Pulau Nias berjulukan Bauwadanohia atau Simayamayarao atau disebut juga dengan Lature Dano. Diceritakan bahwa semoga Pulau Nias ini tak tercerai berai dan tetap stabil maka Sirao menugaskan anaknya yang berjulukan Bauwadanohia ini untuk menopang tanah Kepulauan Nias. Dan dalam melakukan tugasnya yang maha berat, untuk menciptakan Pulau Nias lebih kokoh lagi, sang Sirao pun kemudian menugaskan anaknya yang lain yaitu Lasorogae Sitolu Daha atau Lasorogae Sidua Demo. Oleh kedua tuhan inilah Kepulauan Nias ditopang hingga menjadi kokoh dan stabil.

Tapi, adakalanya kedua tuhan ini pun murka dan mengguncang-guncangkan bumi hingga menjadikan gempa bumi atau dalam masyarakat Nias disebut duru dano bila ulah insan yang mendiami Pulau ini sudah bertingkah keterlaluan dan tak lagi mengindahkan aturan-aturan (Fondrako/Famato Harimao). Maka dari itu bila terjadi gempa bumi, penduduk di Kepulauan Nias pun berseru : “Biha Tua! Biha Tua! Biha Tua!” Yang jikalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti, “Sudah kek! Sudah kek! Sudah kek!” untuk meredam kemurkaan kedua tuhan ini. 
Tidak hingga disitu, saat gempa telah benar-benar berhenti, biasanya masyarakat Nias pun akan menggelar ritual upacara pemujaan berupa pengukuhan telah melanggar hukum dan berhenti untuk tidak mengulangi lagi semoga peristiwa gempa bumi tak terulang lagi di kemudian hari.